REVIEW FILM INCEPTION [2010]
MENDADAK TWIHARD – ECLIPSE
REVIEW FILM : PIXAR SHORT FILM, DAY AND NIGHT (2010)
Short Film, ya sebuah film pendek yang dibuat oleh Pixar Animation Studio. Dua hal yang tak terpisahkan, selalu ada ide segar dari Pixar sebelum dan sesudah kita melihat film feature-nya, baik nyambung maupun tidak dengan film utama. Kita mengenal film pendek ini sejak Pixar dirintis, bukan era millenium dan 90’an melainkan 80’an. Tidak semuanya sudah saya lihat, ada The Adventure Of Andre And Wally B tahun 1984, Luxo Jr. yang merupakan logo resmi Pixar dirlis tahun 1986, tahun kelahiran saya. Luxo Jr. pernah saya tonton, sangat sederhana untuk tahun 2000’an. Lalu ada Red’s Dream tahun 1987 dan Tin Toy tahun 1988, film pendek tentang makhluk salju dalam kaca berjudul Knick Knack tahun 1989. Tahun 1995 teknologi makin berkembang dan Toy Story untuk pertama kalinya dirlis sekaligus ditandai sebagai film animasi CGI pertama untuk konsumsi bioskop, Gery’s Game ambil bagian ditahun ini. film yang cerdas, kita terperangah untuk dua hal teknologi dan konsep ceritanya. Kini saat semua telah terbiasa dengan tayangan animasi CGI dan bahkan berformat 3D, bukan teknologi yang dilombakan melainkan kualitas naskah yang diprioritaskan.
“When Day, a sunny fellow, encounters Night, a stranger of distinctly darker moods, sparks fly! Day and Night are frightened and suspicious of each other at first, and quickly get off on the wrong foot. But as they discover each other’s unique qualities–and come to realize that each of them offers a different window onto the same world–the friendship helps both to gain a new perspective”-Consept
Ada versi DVD dan Blu Ray untuk edisi pertama kumpulan film pendek produksi Pixar yang dirlis tahun 2007 lalu, tidak semuanya terangkum disana bahkan banyak. Burn-E, Doug Special Mission, dan Partly Cloudy dalam tahap menunggu lampu hijau, begitu pula dengan episode ini. Perlu ada edisi kedua kumpulan film pendek Pixar selanjutnya. Kembali ke tahun 2010, ada “Day And Night” disini. Sebuah film unik berteknologi 3D mengikuti film Toy Story 3 yang juga berformat 3D, diputar sebelum Toy Story 3 dimulai. ada teknik 2D di film ini, Your Friend The Rat contohnya. Bahkan ada Stop Motion dan mode hitam putih disana, namun disini minus kedua jenis tadi. Perpaduan 2D untuk kedua tokoh Siang dan Malam dan CGI berteknologi canggih sekaligus dalam tubuh mereka berdua, 2D pertama untuk tayangan versi bioskop stereoscopic 3-D. Teddy Newton berada dikursi Sutradara, debutan namun berada diarea yang benar, Micahel Giacchino sebagai komposser, sangat menarik dan penting mengikuti ini.
“Where they not the keepers of daylight and darkness, Day and Night wolud be a couple of average joes. Day busy with sunshine and joggers, Night focused on star and drive-in movie. But when they paths cross, Day and Night find that they are more alike than different-both are fearful and jealous. but altimately proud to share the best of themselves and as they discover, better together than apart”-The Characters.
Fokus cerita berpusat pada makhluk bernama Day dan Night yang selalu mendapati dirinya berada pada kondisi yang berbeda antara siang dan malam, ketika Day dan Night berada dipantai ada cewek berbikini yang berjemur untuk si Siang, seketika itu si malam datang menghampiri dan mendapati pantai itu telah malam dengan nyanyian jangkrik yang gelap dan sepi. Tentu sang cewek berbikini tadi sudah pulang, pertentangan keduanya akhirnya berbuah adu kesaktian dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Saat keduanya sadar atas kelebihan masing-masing, bekerja sama adalah hal yang paling indah dengan tanpa mencari kelemahan orang lain dan menerima kekurangan diri. Keadaan saling menguntungkan datang dan terbesit dikepala mereka, siang menyajikan pelangi yang indah begitu pula dunia malam yang gemerlap di Las Vegas dengan berjuta lampu kelap-kelip dan kembang api. Tidak sampai membuat penonton terbahak-bahak memang, namun setidaknya ide filmnya sangat kreatif dan bernilai seni tingkat tinggi. Sarat makna meski hanya berdurasi kurang dari 10 menit, efektif dan tidak mengurangi pesan yang ingin dikumandangkan. Pixar tau kapan kita akan terhibur dengan sajiannya dan kapan waktunya untuk mengaktualisasikan diri mengasah jiwa sosial kita, Pixar itu idealis namun masih mampu menghibur kita. Jadi tidak sabar untuk menunggu short film lainnya beberapa waktu mendatang.
“The Radio Broadcast in Day and Night is taken from atalk given Dr. Wayne Dyer, a motivational speaker and author. director Teddy Newton remembered hearing on recording his mother played when he was young, and he decided to incorporate one of the recordings into the films”-Behind The Scene
REVIEW PIXAR SHORT FILM, DAY AND NIGHT (2010)
“The Radio Broadcast in Day and Night is taken from atalk given Dr. Wayne Dyer, a motivational speaker and author. director Teddy Newton remembered hearing on recording his mother played when he was young, and he decided to incorporate one of the recordings into the films”-Behind The Scene
REVIEW FILM TOY STORY 3 : THE GREAT ESCAPE, EXECELENTE..
“you’ve got a friend in me”-Randy Newman
Buzz Lightyear kembali ke layar lebar setelah sepuluh tahun, penantian panjang dan melelahkan namun datang disaat yang tepat, terlalu banyak yang merindukan kisah mainan ini. Ekspektasi besar berada dibalik perkiraan semua benak calon penonton tentang bagaimana Woody akan dikisahkan dan fase kedewasaan Andy yang segera menuju ke jenjang kuliah, Lee Unkrich jelas bukan orang sembarangan, dia menjadi Co Director untuk 2 film Toy Story, Monster. Inc, dan Finding Nemo. Proyek ini sangat prestisius dan bernilai ratusan juta dollar, bukan pekerjaan main-main meski berkisah tentang mainan. Kita semua mencintai Buzz Lightyear, Woody, Jessie, Mr. Potato Head, Rex, Bulleyes, dan lainnya, bagi mereka yang lahir pertengahan hingga menuju akhir tahun 80’an, kami pun berada disana. Saat Toy Story dirilis tahun 1995 kita belum berumur sepuluh tahun waktu itu, menyenangkan rasanya memory itu kembali datang.
Pixar membawa pioner film tiga dimensi pertama kelayar lebar lewat Toy Story berkembang hingga Up tahun lalu, ada kesan tersendiri saat kita beranjak dewasa dengan Pixar terlebih bagi kalian yang saat ini hendak kuliah dan memang mengikuti seri Toy Story sejak awal rilis. Kita akan melihat kebelakang dan terdiam melihat satu kardus dibawah tempat tidur atau tempat lain yang berisi mainan dan sudah lama tidak kita mainkan, tersenyum karena kita pernah melewati era keemasan bersama mereka. Bernostalgia dengan memory masa lalu tentang mainan dan boneka, sebuah benda mati yang ditafsirkan hidup sesuai daya intepretasi dan kekuatan dalam beriimajinasi tentang dunia tanpa sekat yang menyenangkan. Berubah megah menjadi suatu hal yang istimewa yang hinggap nan melekat saat kita kecil dan menjadi sebuah kenangan manis sebagai teman bermain, berapa detik durasi dalam hidup yang kalian sediakan untuk mereka kala itu? kita mungkin tidak menghitungnya. Yang jelas saya pernah mengalami masa-masa itu dan kalian pun demikian, yang kita tau bahwa mereka hidup ketika kita sedang berimajinasi, memainkan peran mereka. Namun yang tidak kita tau disanalah ternyata mereka benar-benar hidup, berinteraksi saat kita tidak ada, bercengkrama dalam dunianya, petualangan seru lintas batas, dan perasaan mereka terpengaruh saat kita pun mulai melupakannya, menyenangkan mengetahui semua itu ada di Toy Story trilogy.
“kami berusaha membuat film yang kami sendiri ingin lihat, orang tak ingin dikecewakan film ini. aku juga tak ingin dikecewakan film ini! ini akan jadi film yang lucu dan memuaskan.“-Lee Unkrich.
“bukan tentang bagaimana kau membuatnya, tapi apa yang kau lakukan dengan itu”-John Lasetter.
Waktu akan terus bergulir dan “Andy’s going to college, can you believe it?” siapapun kalian yang beranjak dewasa dengan film ini yang saat ini segera dan atau sedang mengenyam bangku kuliah akan segera diingatkan, “what are you going to do with these old toys?” kita meninggalkan rumah dan mulai tinggal di asrama atau kosn, orang tua kita akan membereskan kamar kita, memindah dan membuang yang tidak perlu. Pilihan harus segera dicetuskan, membawa mainan ke asrama, menaruhnya diloteng/gudang, membuang ke tempat sampah, atau mewariskannya kepada ponakan berumur 5 tahun? kita menghadapi sebuah sejarah disini, berpisah dengan orang tua yang telah membesarkan kita sejak kecil. Bukan peristiwa yang harus disesali, mungkin berat untuk melepasnya namun disatu titik semua itu akan selalu terjadi, dan itulah jalan terbaik. Sebuah premis manis dan indah dari penulis naskah Michael Arndt, John Lasetter, Andrew Stanton, dan Lee Unkrich sendiri, Carl pernah merasakan hal itu di film Up begitu pula Finding Nemo, sebuah perjuangan berat yang harus dilalui dan kini Woody dkk sedang dalam ujian untuk menentukan sikap itu. Andy hanya akan membawa Woody ke kampus dan memisahkan yang lain ke sebuah loteng, sebuah tempat paling menyenangkan daripada dibuang ketempat sampah. Saat yang ditunggu-tunggu datang, dan sebuah kesalahan yang tidak diperkirakan hadir, ketika itulah sebuah petualangan terjadi. Lee Unkrich telah membuat kita sadar bahwa ada beberapa hal yang lebih penting yang berada dibalik sebuah kesalahan itu, terlebih saat sebenarnya Andy marah ketika mainannya hilang dan bukan loteng yang mereka dapati melainkan sebuah taman kanak-kanak-Sunny Side dengan segudang masalah dibalik wajah ceria itu, hanya ada satu pilihan selanjutnya. run definitely, run!
“what are you going to do with these old toys?”-Andy’s Mom
“Andy’s going to college, can you believe it?”-Andy’s Mom
Menyaksikan kisah ini membuat saya pribadi sangat terhibur, sangat disayangkan porsi 3D didalamnya terasa kurang menonjol hanya kedalamannya saja yang terlihat lebih. Hal ini seperti yang sudah dijelaskan oleh John Lasetter sendiri bahwa “bukan tentang bagaimana kau membuatnya, tapi apa yang kau lakukan dengan itu”. Sebagai pentolan Pixar, John sangat menyukai 3D meski bukan itu yang dia fokuskan melainkan kedalaman cerita dan pengembangan karakter yang menjadi perhatian serius. Aksi Buzz dan Woody bisa jadi sangat lucu, tapi mereka juga bukan saja menjadi tontonan anak berumur 5-10 tahun, sebuah strategi umum yang diterapkan oleh Pixar. Kita dan orang tua tidak mungkin melepas bocah SD sendirian nonton film ini, akan ada pendamping saat nonton dan itu sudah pasti. Toy Story 3 kini memiliki hidup yang lebih berwarna, warna warni menghias lebih pekat saat berada di Sunny Side, taman kanak-kanak. Ada banyak pula mainan baru di Sunny Side, kita bisa melihat sebagai ciri khas film sekuel dengan penambahan banyak konflik dan karakter baru. Peter Parker menghadapi 3 penjahat difilm ketiga, begitu pula Jack Sparrow di Pirates Of The Caribbean At’s World End. Semua pemain lama reuni kembali disini kecuali Jim Varney untuk suara karakter Slinky, Pixar kali ini juga mengundang beberapa aktor senior, tidak seperti biasanya. Micahel Keaton, Jodi Benson, Timothy Dalton, Whoopi Goldberg, Richard Kind, dan Jack Angel. Hebatnya, mereka semua bermain dengan apik meski hanya sebatas nyumbang suara saja. Bisa dibilang kali ini Pixar kurang menyelipkan karakter atau pun benda dari film sebelumnya, fans Pixar sudah terkondisikan sejak awal tentang antisipasi kejutan ini. Bukan tidak ada, melainkan memang tidak secara gamblang adanya. Kita melihat banyak kesamaan dengan film sebelumnya yang mau-tidak -mau mengingatkan kita akan beberapa film Pixar sebelumnya, apa saja? semua, ada banyak film Pixar di Toy Story 3.
Berangkat dari ekspektasi diatas, meninggalkan bajakan adalah perbuatan bijak apalagi setelah lama tidak mengunjungi bioskop untuk ritual nonton film. Pixar tidak pernah mengecewakan saya, banyak hal dan itu telah terlewati serta dibayar dengan rasa puas. 1,5 jam perjalanan dari rumah demi tayangan 3D, membayar selembar tiket berharga 25 ribu, dan keluar studio membawa haru sekaligus senang. Kita diajak bermain roallcoaster disini, temperatur cerita berbeda genre. Daya khayal Andy diawal adegan sangat mendebarkan, seketika itu kita disambut oleh warna-warni pelangi di Sunny Side. Bila urat sudah mulai kendor dan adrenaline menurun, bersiaplah untuk tertawa saat Mr. Potato Head berubah bentuk disalah satu scene, atau saat Ken ingin menunjukkan daya tariknya dengan memamerkan ragam busana koleksinya kepada Barbie. Adakah yang tidak tertawa saat Buzz Lightyear diset ke mode bahasa Spanyol dan kembali keasal muasal sebagai polisi luar angkasa dengan misi menumpas Zurg ?? Melindungi Jessie dari pihak jahat serta rayuan mautnya dijamin akan membuat anda tertawa lepas dibioskop, sangat memorable. Menjelang ending saat semua harapan sepertinya berjalan dengan baik, 20 menit terakhir kita sejenak bernafas. Berfikir serta merenungkan tentang apa yang kita perjuangkan, tentang apa yang kita pertahankan. Kembali keawal, berpisah menjadi fokus cerita. Bukan perpisahan yang menyedihkan meski bagi penggemar hal itu terasa sangat mengharukan, jangan membayangkan hal sedih disini karena itulah jalan terbaik. Sebuah film masterpiece dan sangat direkomendasikan untuk disaksikan langsung dibioskop, nonton film Toy Story berarti melihat perjuangan Pixar selama ini. Berjuang menjadi yang terdepan, banyak cobaan tentunya. Sepuluh tahun kemudian dan hari ini kisah ini akan kembali menyapa anda, emosi para fans Toy Story akan lebih terikat disini. Bila kalian bertanya film terbaik 2010, saya akan bilang Toy Story 3 berada pada posisi Lima Besar disana.
REVIEW FILM THE TIME TRAVELER’S WIFE [2009]
Pemain : Michele Nolden, Alex Ferris, Arliss Howard, Eric Bana, Rachel McAdams, Brooklynn Proulx, Jane McLean, Ron Livingston
REVIEW FILM IRON MAN 2, KESATRIA SETRIKAAN KEMBALI DENGAN PENGIRITAN AKSI
Genderang Summer Movie kali ini ternyata ditabuh lebih awal, setidaknya itulah yang tengah melanda bioskop di Indonesia. Iron Man 2 adalah kontender film musim panas yang dimaksud, mendapat jadwal tayang lebih awal dari negara asalnya [Amerika] membuat hati ini senang karena kita bisa lebih update tentang film. bahkan moment positif ini direspon dengan baik oleh pihak bioskop dengan menyediakan 2 – 4 studio untuk mengakomodasi kemungkinan membeludaknya penonton, dan hal itu memang terbukti. banyak penonton yang penasaran dengan lanjutan aksi pahlawan yang tidak menyandang gelar “super” ini.
Lewat film Iron Man pulalah sebuah system anyar yang kini mulai dipakai di bioskop, namanya adalah 2D-Digital Cinema. saya kurang begitu paham secara detail tentang teknologi baru ini, namun yang jelas film dengan presentasi 2D-Digital Cinema adalah pengalaman baru bagi saya dalam menyaksikan sebuah film apalagi untuk film dengan rentetan special efffect canggih seperti Iron Man 2. perbedaan mencolok dari teknologi ini adalah hasil gambar paling jernih selama saya nonton film dibioskop, akurasi detail gambarnya enak dimata dan teks subtitle Indonesianya juga kuat dan jernih. Well, dari daftar list film superhero adaptasi komik favorit saya Iron Man jelas masuk daftar selain dwilogi Batman buatan Nolan, Watchmen, Superman Returns, dan V For Vendetta, masuknya Iron Man disini karena dia bukanlah manusia jadi-jadian yang memiliki kekuatan aneh-aneh. dan citra yang dibuat pertama kali untuk mengangkat karakter ini kelayar disambut positif oleh kritikus dengan penampilan pas dari Robert Downey Jr sebagai Tony Stark.
Suksesnya film Iron Man pertama yang dirilis tahun 2008 lalu kemudian menjadi tak terelakkan untuk segera melanjutkan petualangan baru Stark Industries selanjutnya melalui sebuah sekuel, apalagi setelah publik tau siapa orang yang berada dibalik baju besi berwarna merah tersebut. cerita filmnya dimulai enam bulan setelah Tony Stark [Robert Downey Jr] memberikan pernyataan tentang siapa yang berada dibalik robot merah tersebut, begitu pula sikap Tony yang makin mengkhawatirkan orang-orang terdekatnya Papper Pots [Gwyneth Paltrow] dan Kolonel James Rodhes [Don Cheadle]. diluar ego Tony yang semakin tidak terkendalikan, Tony sendiri sebenarnya sedang diambang kepanikan karena efek dari Palladium yang membantunya untuk tetap bertahan hidup kini balik makin membunuhnya berupa racun dalam darahnya, tentu hal ini tidak diberitahukan ke Papper. kesuksesan Stark Industries sempat menimbulkan masalah apalagi setelah pejabat Amerika meminta kepada Tony untuk menyerahkan Baju besinya karean alasan mengancam keamanan negara, hal itu tentu ditolak oleh Tony yang sekaligus mempermalukan saingan bisninya Justin Hammer [Sam Rockwell]. ternyata masalah Tony tidak berhenti disini saja, Ivan Vanko [Mickey Rourke] anak dari musuh ayah Tony. Ivan yang merupakan ahli fisika juga membuat alat dengan konsep yang sama dengan Iron Man, namun dengan bentuk yang berbeda dan menyerupai pecut dengan sengatan listrik super menakutkan yang digunakan untuk membunuh Tony yang dianggapnya sebagai orang yang bertanggung jawab atas kematian ayahnya. Ivan kemudian dijuluki The Whiplash.
Pemain : Robert Downey Jr, Mickey Rourke, Sam Rockwell, Stan Lee, Gwyneth Platrow, Scarlott Johansson, Samuel L Jackson, John Slattery, Clark Gregg, Garry Shandling, Paul Bettany, Jon Favreau.
Sutradara : Jon Favreau
Naskah : Justin Theroux
Durasi : 124 menit
Tanggal Rilis : 30 April 2010 [Indonesia]
Distributor : Paramount Pictures
Bioskop : Sutos XXI 2D – Digital Cinema, Studio : 03, Row : K-10, Date : 01 Mei 2010, Time : 00.25 – 02.39 WIB, Price : Rp 35.000
Setelah penyerangan oleh Whiplash kepada Tony di arena balap F1 di Monaco, Justin Hammer mendekati Ivan untuk diajak kerja sama menghancurkan Tony dan Strak Industriesnya. dilain pihak, untuk mengurusi semua masalah yang dihadapi Stark Industries maka Papper ditunjuk menjadi direktur utama Stark Industries, dan sebagai pengganti asisten pribadi Tony, maka ditunjuklah Natasha Romanoff [Scarlett Johanson] yang ternyata adalah anggota S.H.I.E.L.D berjuluk Black Widow yang diketuai oleh Nick Fury [Samuel L. Jackson] dan ditugasi untuk mengawasi Tony. keadaan makin runyam ketika Ivan memiliki misi rahasia dengan menggunakan robot otomatis punyaannya Justin Hammer, Tony, Rodhes, Scarlett kini harus berusaha mati-matian untuk melawan Ivan yang menggenjot kekuatannya untuk menghancurkan Tony.
Bagi saya film ini lumayan lolos dari kutukan film sekuel yang biasanya rusak parah dan hanya menang dibagian effect saja, meski kali ini cerita yang diracik banyak menyisipkan humor a la film komedi. namun untuk beberapa scene hal itu malah cukup efektif untuk menghibur penonton, adegan berantem yang ditunggu-tunggu antara Iron Man dan Whiplash pun ternyata hanya dihadirkan kurang dari 2 menit, karena kali ini Iron Man lebih fokus kepada sisi drama layaknya kegaluan yang dialami Parker dalam Spiderman 2. penyelesaian ending film ini memang kurang klimak yang terburu-buru, padahal durasinya sudah lumayan lama. ada beberapa titik difilm ini yang terlalu dipanjang-panjangkan sperti saat Tony dan Rodhes berantem saat acara ulang tahun Tony yang sama-sama memakai Robot dan beberapa adegan lainnya seperti Stark Expo yang dibuat agak lama, pengembangan karakter Ivan dan Justin Hummer juga begitu kurang dan terlalu menonjolkan masalah yang tengah dihadapi oleh Stark.
Akting dari pemain dalam film ini memang rata-rata bagus, Rourke sebagai Ivan juga sangat meyakinkan sekaligus memang terlihat garang, Sam malah agak surprise karena bermain sangat baik mengimbangi akting Downey yang tengah depresi. begitu pula dengan Paltrow dan Scarlett, khusus Scarlett. meski terlihat hanya sebagai “penyedap rasa”, namun penampilannya disini adalah salah satu penampilan terseksi yang pernah saya lihat darinya. adegan kelahi dengan staf keamanan dikantor Justin menjelang ending sangat menarik. yang juga menarik perhatian adalah keikut sertaan Jon Favreau sebagai supir Tony, malah kemunculannya bisa dibilang agak sering. namun meski demikian, aksinya juga bisa dibilang seru. kredit terakhir saya alamatkan kepada Cheadle, entahlah saya kok kurang sreg ya dengan yang satu ini. sangat disayangkan ketika diumumkan bahwa Terence Howard mundur dari proyek ini dengan alasan bayarannya kurang, karena bagaimanapun chermistry di film pertama anatar Tony dan Rodhes begitu hangat. di film kedua ini, Rodhes tampil beda dan terasa kurang dekat dengan Tony, lagian Cheadle pun juga kurang garang dan nampak selalu serius.
Overall, bagi saya film ini tetap direkomendasikan untuk ditonton dibioskop. syukur-syukur bila nontonnya dibioskop yang menyediakan fasilitas 2D-Digital Cinema, selain itu karena film ini memakan biaya tinggi, sehingga special effectnya sangat memanjakan mata. jokes humornya juga lumayan lucu untuk meyegarkan otak ditengah peperangan antar robotnya, dan setelah filmnya usai jangan langsung pulang dulu. karena setelah ending credit ada adegan tambahan tentang penemuan benda misterius berupa Palu punyaannya Thor, salah satu tokoh pahlawan lain dari The Avenger. ini pengalaman pribadi sewaktu nonton film ini kemaren malem, saya pikir setelah usai film para operator bioskopnya langsung nyuruh pulang. eh ternyata tidak demikian, entah hal ini karena yang nunggu adegan tambahan itu agak lumayan banyak [sekitar 10 orang] jadi layar bisokop tetap dihidupkan hingga adegan tambahan tersebut selesai. padahal saya nontonnya Midnight malem minggu dari jam 00.25 WIB hingga sekitar jam 02.39 WIB.
Ngomongin The Avenger, adegan tambahan berupa penemuan palu milik Thor tersebut sebenarnya membuat saya bahagia seklaigus khawatir. bahagia bila pemain dalam film The Avenger tersebut kelak dimainkan oleh pemain yang sudah memainkan peran yang bersangkutan, semisal Iron Man tetap memakai Robert Downey Jr, Hulk bila memang disepakati Edward Norton berarti tetap dia yang main, Captain America Chris Evan, dan juga karakter lainnya. yang mengkhawatirkan disini adalah bila semua tokoh yang sudah dikenal memainkan salah satu hero di film sebelumnya tidak diikutsertakan dalam The Avenger nantinya, alias mereboot semua pemainnya termasuk ketua S.H.I.E.L.D sendiri alias Samuel L. Jackson.
Dalam peta siklus perfilman Hollywood setiap tahunnya, kita mengenalnya dengan empat periode waktu. ada awal tengah dan akhir, awal selalu diisi film ringan setelah lelah dijejali film kelas festival semacam Oscar dan Golden Globe, ada tengah dengan komposisi film berbiaya tinggi dengan aliran pop laris manis bak kacang goreng karena mengisi slot liburan, dan yang terakhir adalah fall sebagai pesta penutupan film tiap tahunnya. okelah, fokus saya kali ini adalah mengambil satu siklus dari ketiga siklus standard Hollywood diatas yaitu summer movie atau pesta film musim panas alias bagian siklus tengah. saya tidak terlalu meyakini seratus persen bahwa film yang dirilis di musim panas ini semuanya selalu pop dengan biaya setinggi langit apalagi dibarengi dengan kualitas nomer wahid meski rata-rata biaya yang dikeluarkan menyebutkan demikian dan kasus semisal The Dark Knight [2008] dan Star Trek [2009] terkadang mengubah penilaian tersebut, dan jelas sebagian besar filmnya berakhir menghibur atau minimal setingkat itu saja. pembukaan pesta glamour berhamburan uang tersebut tahun ini dibuka oleh dua film yang secara simultan sukses laris manis diantri dan kemudian ditonton oleh banyak orang, produk laris berlabel franchise ini berjudul Iron Man 2 dan Ip Man 2. Sebuah produk unik yang dirilis terpaut satu hari antara keduanya, saya memakai kosa kata unik disini menilai bahwa dua produk tersebut mampu menimbulkan senyum dibibir yang dibulan April kemaren selalu dibuat kecut karena kualitas film yang dirilis dibulan itu membuat saya malas mengunjungi bioskop, sebab senyum tersebut di amini atas dasar beberapa hal yaitu keduanya sama-sama memakai kata “Man” dan angka “2” atau lanjutan/sekuel sebagai judul filmnya.
Melihat dari sisi tersebut kita sedang melihat sebuah perusahaan besar yang sudah bukan saatnya lagi memakai kata “merangkul pasar” apalagi “mengenal pasar” tapi sudah berlanjut kepada prosesi selanjutnya yaitu “memperluas jaringan pasar” dengan mengikat sejumlah pasar sebelumnya yang sudah kadung suka dan ngefans, seperti saya contohnya. kini kita sedang menguji kemampuan sebuah produk dari merk dagang terkenal, kita melihat dan kemudian membeli sebuah kekuatan, bukan hanya sebungkus kualitas, namun juga kulakan sensasi, baik sensasi berbuah kebanggaan akan produk yang dikonsumsi, sensasi rasa yang diperkirakan, dan garansi yang digariskan bernama sederhana “Manusia Besi”. Seperti buah cinta dalam sebuah hubungan yang memulainya dengan susah payah namun mempertahankannya terkadang juga lebih susah dari sekedar memulainya, atau bila sudah kadung cinta maka membencinya adalah mimpi buruk yang tak kunjung hilang dari ingatan apalagi melupakannya. tentu disini kita tidak mau membeli sebuah produk laris berlabel franchise yang sudah kadung popcorn dan banyak disukai sebagian besar orang yang kemudian ternyata memiliki cacat fisik dan mengganggu secara psikologis, karena sebagai penonton pada awalnya kita diperlihatkan sebuah produk anyar ditahun 2008 lalu dengan segala kelebihan dari pihak marketingnya yang panas dingin karena takut produknya tidak laku atau minimal berada jauh dibawah target dan susah membalikkan modal yang sudah kadung melebur menjadi produk jadi ini. kita sudah diaykinkan untuk menyukai produk ini, meski dirasa banyak pilihan produk saingan yang sama enaknya namun doktrin sudah mengakar dan menjalar diotak mengenai produk ini, jadi pada akhirnya ekspektasi pun melonjat seiring perjalanan waktu.
Usaha John Favreau dalam menjaga konsumen supaya tidak berpaling keproduklain memang layak dihormati, meski beberapa konsumen menyatakan proses penggelembungan film ini menjadi sekuel, trilogy, hingga prekuel [mungkin] diamini sebagai proses kemunduran ide. Saya tidak percaya 100 persen bahwa Hollywood sedang kekeringan ide, pemaksaan trend yang terbukti sukses saat Sam Raimi mengangkat tokoh komik Spiderman [2001] menjadi film layar lebar berpita seluloid 35 mm mengubah sedikit pandangan saya. lantas apa yang harus diperdebatkan bila sudah begini ??? kita pun harus menelan ludah sendiri tentang penafsiran dan arti sebuah kata “ide”, apakah berbeda dengan “strategi” dan “memanfaatkan potensi” ?? coba kita tarik ulur tentang komik, tidak benar-benar keliru bila sebuah cerita bergambar kemudian dirubah menjadi bergerak adalah cara picik Hollywood untuk mengalihkan perhatian audience atas matinya ide begitu novel yang hanya berupa tulisan imaginatif menjadi nyata dan logis lewat layar proyektor film, nah film 300, Superman, Batman, Lord Of The Ring, Golden Compass, dan sederet judul lainnya yang makin memanjang dan memenuhi sebagian besar film berbujet tinggi yang dijual pada musim panas pantas disebut sebagai awal dari mandeknya ide ?? belum lagi konsep baru yang diangkat dari video game dan komik strip, tentu jawabannya adalah benar meski tidak 100 persen benar.
Berangkat dari sebuah kata “ide” yang dinilai mandek tersebut, Hollywood sebagai produsen pembuat sekaligus pemegang brand paling populer kemudian mempergunakan “ide” pada ranah yang kurang disukai oleh kritikus namun digilai oleh penonton umum. hal ini mungkin bertujuan supaya status perusahaan masih bisa dianggap mampu untuk memenuhi permintaan pasar meski tidak menutup kemungkinan dipergunakan untuk hal lain, ubah merk yang sudah kadung melekat dihati penggemarnya, buat mereka kalah, buat mereka menjadi hal yang mengejutkan hingga menarik simpati kita sebagai penonton untuk terus mendukungnya. yang kuat menjadi lemah, namun yang dianggap remeh menjadi sesuatu yang wah dengan intelektualisasi mengejutkan dan menukik tiba-tiba, maka kita pun bingung mengapa lantas kita harus memperdebatkan strategi perusahaan seperti ini, memperdebatkan hal diliuar kualitas, dan mempermasalahkan perbedaan intrepretasi beserta ego yang berada dibaliknya. Mengekor kesuksesan The Dark Knight [2008] dari film adaptasi komik menjadi sesuatu yang benar-benar mengaplikasikan kelelawar pada level lebih gelap dari sebelumnya, kisah Iron Man kemudian mencoba menjadi sebuah branded lain dari genre superhero ringan seperti Fantastic Four dan Spiderman. namun alih-alih menjadi penerus kualitas The dark Knight yang mau tak mau harus menjadi pembandingnya, kesalahan yang kemudian timbul adalah penekanan genre komedi yang sebelumnya tidak menjadi porsi penting. apakah itu mengisyaratkan bahwa bagian kedua ini sebagai ajang kepada dominasi hiburan setelah yang pertama dinilai terlalu serius ?? mungkin saya saja yang menilai dan berasumsi demikian, untuk menimbang pendapat tersebut kita lihat kembali film pertama.
Setelah nonton film petama, kita kemudian dapat melihat apa saja yang ingin ditawarkan dari film ini. hal ini yang kemudian menentukan intepretasi masing-masing tentang kenapa film masih pantas atau tidaknya untuk diteruskan ceritanya, tentu saya tidak serta merta menilai bahwa apa yang sudah ditawarkan di film pertama telah memenuhi syarat menjadi pilihan dan menjadi acuan kepada prduk lainnya yang semisal pun juga tidak menyebutkan bahwa film ini sepenuhnya buruk. bagi saya sebagai konsumen yang telah menguji sebuah brand merk besar mempunyai hak untuk menilai sebagai kepentingan pribadi demi sebuah kepuasan batin. saya kemudian menggunakan kata konsistensi demi merumuskan hasil pengamatan ini, konsistensi dari apa yang harus diperbuat Favreau supaya dagangannya tetap laku dengan penambahan sektor supaya dagangannya tambah laku, namun ada sebuah sinyal negatif yang memang ingin saya tulis disini. sebuah konsistensi buruk yang terus diperbuat dengan tujuan baik namun menyebabkan intepretasi lain dari saya sebagai penonton, ending film pertama dengan film kedua adalah bentuk konsistensi yang tidak sedikitpun tersentuh untuk sekedar dirubah maupun ditambah. element pertama bisa jadi dikatakan sukses tentang penceritaan perdana awal terbentuknya alter ego Iron Man, namun apakah element kedua juga harus secepat itu penyelsaiannya ?? keseimbangan yang seharusnya dipaparkan lewat film ini sangat kurang, bentuk eksekusi akhir yang tidak lebih dari pengulangan adegan pertengahan film dengan durasi kurang dari dua menit adalah siksaan tersendiri bagi konsumen yang sudah memesan paket komplit sebuah merk dagang bernama film action-superhero. apakah kemudian kita terpaksa menggolongkannya pada film drama bercampur komedi yang pekat ??
Selain itu, karakter yang dibangun pun juga mengalami konsistensi yang sama ketika nonton film pertama. meski performa per-individu-nya mungkin sudah baik dan dibawakan sesuai takaran, namun antara pertama dan kedua tetap tidak terlihat berbeda dan bahkan beberapa diantaranya menurun. jelas Rourke, Sam, dan Johanson serta pengganti Terrence Howard-Don Cheadle tidak termasuk diantaranya mengingat mereka hanya mucul pada seri kedua ini saja. khusus element kedua ini, ada beberapa bagian yang menjadi faktor yang mengubah sebuah imej yang awalnya biasa menjadi superior. Alter ego Tony Stark disini layak disebut sebagai penampakan jati diri Robert Downey Jr yang coba untuk ditanamkan pada setiap kesempatan. penekanan cerita yang didominasi oleh cara guyon yang slengean dengan pola tingkah yang sudah pernah ia praktekkan dan juga diamini oleh Guy Ritchie dalam Sherlock Holmes kembali hadir disini, ada yang efektif memang, namun beberapa sikapnya mulai membuat gusar penonton yang kelewat sombong. tentu hal ini terbaca sejak awal oleh Favreau mengingat hampir tidak ada perbedaan mencolok diantara Tony Stark dan Sherlock Holmes, sebagai Stark seyogyanya Downey haruslah bersyukur mengingat lewat film inilah dia kembali dilihat oleh dunia setelah beberapa waktu vakum dari dunia hiburan, karena bahkan efek positif akibat memakai baju besi ini dia kemudian makin dikenal salah satunya ditawari dan melakoni sebagai Sherlock Holmes dan menyabet nominasi aktor terbaik untuk Tropic Thunder tahun 2009 lalu.
Deretan kubu kawan tidak berhenti disitu saja, kali ini Jon menghadirkan Scarlett Johanson, dan Don Cheadle sebagai tambahan. baik Paltrow maupun Scarlett disini bermain aman, khusus paltrow yang sudah mengikuti film ini sejak awal sebagai asisten Stark bernama Papper Pots, chermistry-nya kali ini masih mengusung konsistensi yang makin turun dari element pertamanya. ruang konflik dan kedekatan emosional dengan Stark terasa hilang seperti baru kenalan dan melanjutkan proses pedekate dengan seseorang, penjejalan karakter-karakter baru otomatis mematikan beberapa karakter lama yang mungkin agak urgen seperti Pots disini. pun tidak ada bedanya dengan Johanson, jangan hiraukan kualitas aktingnya disini. bahasa tubuh yang dibuat seksi nan perkasa memaparkan pada kita tentang wacana sebuah tubuh sebagai salah satu pesan yang terisrat dibalik kemolekannya, hingga ilusi yang diakibatkan darinya menyimpulkan satu hal yaitu sebagai “pemanis” film. visualisasi lain dari film ini kemudian datang dari karakter kolonel Rhodes yang sebelumnya diperankan oleh Terrence Howard menjadi Don Cheadle, meski perubahan ini bukan perubahan sensitif dari hitam ke putih. namun secara pendalaman karakter terlebih chermistrinya dengan Stark, hal ini pada akhirnya menjadi bulan-bulanan yang menyakitkan bagi saya serta yang paling tidak masuk akal kemudian adalah penolakan Howard untuk kembali memerankan Rhodes hanya karena terganjal masalah fee yang akan diterimanya. sebuah fenomena menarik pada awalnya, namun sangat tidak populer untuk kemudian bersikukuh dengan tabiat seperti itu hingga akhirnya mau tidak mau Jon harus mencari pengganti yang sekiranya pas baik secara penampilan, fee, dan aktingnya.
Pemaksaan dengan memakai jasa Cheadle untuk memangku tugas sebagai Rhodes saya nilai telah mengurangi feel film ini, chermistri keduanya tampak bias dan blur. keserasian mungkin hanyalah masalah persepsi dengan intepretasi masing-masing dengan kandungan subyektifitas atas nama selera, namun apakah cuma saya saja yang beranggapan demikian ?? tambahan yang sama menariknya kini dilakoni oleh Jon sendiri sebagai sutradara, entah ada apa dengan aktor lain bila hanya tugas sebagai sopir yang juga dibuat lucu terutama adegan kelahi dibagian ending dilaboratorium milik Hammer dibawakan oleh sang sutradara. yang jelas mngkin Jon berfikir tentang produk dagangnya harus benar-benar membuatnya bangga dan akan dia kenag sepanjang kariernya salah satunya dengan terjun sendiri pada film yang dibuatnya, aksi turun gunung ini ternyata berbuah manis. akting dan kontribusinya sebagai sopir sang pahlawan juga tidak kalah penting ketimbang peran aktor/aktris lainnya. Menyambung tentang konsistensi diatas, usaha untuk membedakan lanjutan dengan seri perdananya tentu dengan mengubah Villainnya. bila difilm pertama hanya memajang satu halangan, maka disni Jon memakai dua pengganjal sekaligus bernama Ivan Vangko dan Justin hammer. Ivan diperankan oleh Mickey Rourke dan Justin dibawakan oleh Sam Rockwell, jelas yang akan menjadi lawan kelahi sang manusia baja adalah Ivan. melihat perawakan Ivan, keyakinan tentang keahliannya menerobos komputer milik Hammer merupakan sebuah proses baru yang dicoba untuk menampilkan sosok villain kumel namun cerdas. sangking cerdasnya Ivan bahkan memiliki hati yang jauh lebih hangat ketimbang kekarnya tubuh beserta ornamen tattoo-nya, artinya Ivan memang berpenampilan sangar namun sesungguhnya dibalik itu semuanya otak adalah kekuatan sesungguhnya Ivan, apalagi dia juga pencinta hewan terutama yang berjenis kakak tua jambul kuning. Juara villain sebenarnya adalah Hammer dari segi kualitas akting, presisi penampilan yang baik terus dia pertahankan sejak melakoni film Moon tahun lalu. meski masih lebih baik saat bermain di film Moon tersebut, namun kematangan aktingnya juga tampil mengejutkan saat menggertak Ivan menjelang ending film ini.
Lalu bila konsistensi buruk itu masih terpancar dari film yang sejak awal bukan didedikasikan sebagai produk yang haus piala festival bergensi tingkat dunia dan tidak ada niat untuk menambal bolong konsistensi awal hingga berulang kembali di element kedua ini, apa yang harus kita lanjutkan sebagai bahan acuan terbaik yang seharusnya muncul sebagai upaya perbaikan untuk menghindari jatuh pada lubang yang sama ?? pemilik perusahaan telah berhasil menghasut kita untuk terus mengkonsumsi produknya dengan berbagai strategi jitu, terbukti usaha saya untuk memberedel film ini hanya berakhir cuap-cuap dengan sedikit tambahan pembelaan terhadap polemik bernama “adaptasi” dan menakar sebuah eksistensi akting pemainnya yang memang tidak jauh berbeda perubahannya antara kontribusinya disini maupun beberapa film lainnya diluar Iron Man. strategi dagang yang dikumandangkan oleh perusahaan film ini tidak selamanya salah memang, namun mengapa kemudian perang summer seperti contoh film ini harus selalu mendulang banyak penghasilan ?? dan selalu menyerap daya gegap gempita saat perilisannya, bukan hanya dibioskop namun hingga para pembajak dan sibuknya lalu lintas internet akibat pergerakan data free download film bajakan bertema khas summer movie tiap tahunnya. perubahan fundamentalis dari pahlawan yang memiliki serumit konflik pahit yang ditelan dengan joke yang dibuat demi kepentingan summer movie, gaya komedi film ini lalu menjadi asupan yang tidak semestinya hadir mendominasi keseluruhan film. mungkin itu moment yang saya tangkap dalam karya Jon Favreau ini.
Sesinis apapun penilaian kita, jelas film ini juga menghibur untuk ditonton. namun bukan berarti harus menjadi acuan kuat yang menempati urutan pertama yang masuk dalam penceranaan, karena memang seperti itulah expo yang selalu hadir empat bulan mulai mei hingga agustus setiap tahunnya. jadi bisa jadi bila kita mendapatkan lebih dari yang diharapkan dalam festival musim panas empat bulanan ini, berarti itu adalah bonus yang cukup langkan untuk didapatkan secara simultan dan terus menerus apalagi bila harus ada secara berlipat ganda. karena durasi 2 jam lebih nonton film ini saya kurang bersimpati tentang apa yang dialami oleh Stark meski Palladium dalam tubuhnya hampir membunuhnya disini, lalu apa yang membuat saya harus tetap duduk manis dibioskop ?? bukankah selebihnya kita hanyalah melihat presentasi produk baru yang masih berupa mata kuliah pengantar berjudul The Avenger, secara tidak langsung pemakaian tameng Captain America dan munculnya video singkat setelah ending credit tentang penemuan palu milik Thor mengisyaratkan kita pada muatan roduk unggulan lain dari perusahaan yang sama namun sepertinya akan mengobral merk dagangnya secara terus menerus dengan pekat dan tidak memberi ruang gerak bagi fans dan pengamat untuk sekedar menoleh ke lain hati. setelah beberapa kesalahan seperti kosnsitensi, akting, dan penekanan tema komedi dalam film ini, kemudian muncullah sumber pahit lainnya bernama The Avenger dan berikut The S.H.I.E.L.D yang diketuai oleh Nick Fury yang dipernakan oleh Micahel L jackson. proyek ambisius ini sungguh pada dasarnya amat mengganggu proses penyelesaian konflik dari Iron Man sendiri hingga mengakibatkan ketidakfokusan Iron Man 2 dengan The Avenger yang selalu tumpang tindih. apakah hal ini pertanda bahwa Iron Man 3 sudah tidak memungkinkan untuk dibuat dan lalu moro-moro bergabung dengan The Avenger sebagai satu kesatuan ??
Apakah secara pribadi saya tidak puas dengan film ini ?? saya kemudian mendapatkan jawaban berupa simbol yaitu 50:50, cukup lelah hati ini dengan produk yang seharusnya melebihi ekspektasi awal. namun apa boleh buat, kepentingan dari hiburan kelas summer movie yang mau tidak mau harus mengutamakan hiburan popcorn diatas segala galanya adalah nilai mati yang tidak mungkin dipungkiri oleh pihak pemilik brand produk ini. karena bagaiamanapun mereka adalah pengusaha yang ingin mencari untung lewat karya seni bernama film, mengeluarkan kosa kata caci maki sumpah serapah tidaklah cukup apabila kemudian saya menilai hanya dengan angka 50:50. penolakan terhadap film ini jelas merupakan jumlah minoritas dan idealisme memang dipertaruhkan disini, jadi saya hanya ingin menyimpannya sebagai ungkapan nanti diserial ketiga atau langsung kepada The Avenger yang menurut kabar masih akan tayang tahun 2012. lalu bila Stark pada saatnya nanti menjadi pemabuk, menjadi playboy, dan mengatur keamanan negara berdasarkan naluri liar dengan tingkah polah lebih sembrono dan ceroboh, apakah kita akan memprotes hal itu ?? saya pikir kemudian akan saya buang kosa kata tadi, karena mencacinya tidaklah cukup. bangunan sikap dan cerita kedepannya tersebut akan mengikuti penerimaan film kedua ini, jadi bila film ini sebagian besar mengganggap baik atau malah dengan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya maka jangan harap kedepannya akan berubah menjadi lebih berkualitas. pernah mendengar film ketiga atau trilogy lebih baik dari serial sebelumnya selain Lord Of The Ring ??? saya juga tidak pernah mendengar. dan mungkin saya akan duduk manis melihat penolakan dan mendengar lebih keras hujatan tentang ide yang sudah dianggap makin tidak berkembang tersebut