Archive

Posts Tagged ‘Matthew Vaughn’

X-Men: First Class

Manusia, sejak lahir dengan segala keterbatasannya, menuju aqil baligh hingga menuju ke frase kedewasaan secara implisit menimbulkan rasa memiliki kebutuhan (atau bisa jadi adalah keinginan) untuk diakui dan diterima. Penerimaan ini baik diterima oleh keluarganya, kerabat dan bahkan masyarakat secara umum adalah proses alamiah sebagai bagian dari pengakuan eksistensi dirinya. “Keberadaan manusia adalah keberadaan bersama.” kata Heidegger.

Penerimaan masyarakat atau kelompok bisa jadi berbeda dan memiliki dualisme, pertama adalah masyarakat menerima perbedaan secara apa adanya, dan yang kedua adalah masyarakat menerima berdasarkan kesamaan. Persepsi yang kedua inilah yang kemudian mengkotak-kotakkan bahkan sampai pengucilan terhadap makhluk tuhan yang dalam kitab suci secara tegas menyatakan bahwa mereka dimata tuhan itu sama.

Mungkin itu dapat dimengerti mengingat keinginan untuk diterima ini, meminjam simpulan teori kekosongan dari Rollo May yang menyebutkan: Kesendirian ditakuti bukan karena kesendiriannya, melainkan karena dengan itu maka individu itu akan kehilangan diri dan keberadaannya. Pengakuan akan eksistensi manusia yang terlahir berbeda atau abnormal inilah yang selalu menjadi tema besar yang membayangi di setiap seri film X-Men, tak terkecuali dengan film terbaru garapan sutradara yang menanjak populer lewat Kick Ass (2010), Matthew Vaughn berjudul X-Men: First Class ini.

Sebuah fiksi yang mengajak penonton untuk membaca ulang sejarah terbentuknya kelompok mutan yang berisikan manusia-manusia dengan kekuatan dan kelebihan yang unik nan aneh bersetting 1962, atau menjelang perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Jauh sebelum Charles Xavier plontos duduk di kursi roda dan begitu pula dengan sahabatnya, Erik Lehnsherr sebelum menjadi main villain dengan alter-ego mahsyur bernama Magneto.

Memdalami film ini secara garis besar membuat penonton otomatis diarahkan untuk bersentuhan dengan kisah laku hidup karakter Raven, Erik Lehnsherr, Hank McCoy, dan tentu saja Prof. Charles Xavier. Erik muda berkabung sekaligus memendam dendam kesumat terhadap kisah masa lalunya yang kelam dan kejam saat bersinggungan dengan dunia kamp konsentrasi Nazi di Polandia, terutama saat orang dia sayangi tercerabut dari akar hanya karena dia tidak mampu mengeluarkan potensinya untuk mengangkat sebuah koin di depan seorang jenderal Nazi. Read more…